Pekerjaan itu bernama Welding Inspector
Hasil weldingan |
Pekerjaan itu dilapangan kerapnya diucap “kyusi” atau “kuisi”. Langkahnya itu kerap disorot menjadi dua sisi dihormati sekaligus dipandang menjengkelkan dan menyebalkan. Namun lebih cenderung kepada hal yang negatif dan buruk buat para pekerja, karena terkesan menghambat dan menghalangi kemulusan mereka bekerja. Tujuannya apa? Untuk mengontrol kualitas. Itulah pekerjaanku sekarang. Mengontrol kualitas apa? Kualitas yang dikerjakan. apa yang dikerjakan? pembuatan dudukan penampung air. Itulah bahasa mudah. Penampung air sekaligus proses pembuatannya. Apakah benar-benar air? Jenisnya bisa saja oli atau bahkan gas. Ringkasnya, saya bekerja di perusahan minyak dan gas. Ya, pekerjaan migas. Bagian pembuatannya. Ada yang bertugas sebagai pelaksana migas, ada pula yang bekerja sebagai penjagaan tempatnya, ada yang bertugas pemilik dari tempatnya. Nah saya berkerja dibagian pembuatannya. Ini juga disebut proyek.
Sebut saja seperti membuat rumah. Nah rumah itu ada tipe dan
modelnya. Hanya saja, yang kami kerjakan bukan rumah, melainkan dudukan dari
penampung-air, misalnya begitu. Yang nantinya akan diletakkan di tengah lautan.
Tujuannya untuk menghasilkan minyak bumi.
Kembali ke pekerjaan saya sebagai kyusi.
Saya memang pernah bekerja di bagian kyusi sebelumnya, tapi
saya tidak menikmati pekerjaan itu, hasilnya, susahlah ilmu pengetahuan itu
masuk. Sangat susah ilmu pengetahuan itu terserap andai tidak menikmati
pekerjaannya. Kali ini saya sangat menikmati, efeknya saya meresa kelelahan yang
sungguh. Apa itu? Kelelahan fisik sekaligus kelelahan mental. Mana yang lebih
melelahkan, yakni kelelahan mental. Saya dipaksa—tentu oleh diri saya sendiri—untuk
lebih cepat memahami apa yang saya kerjakan sebagai kyusi. Efeknya, saya butuh
belajar lebih banyak. Mungkin dilapangan itu, yang kyusi juga, orang-orang itu
tidak sepenuhnya mengingat detail-detail ilmu pengetahuan yang sudah terlewati;
bila pun paham sepenuhnya, ia hanya bekerja pada bagian yang sudah menjadi
kebiasaan. Namun karena mereka sudah terbiasa dilapangan sehingga pekerjaan itu
sudah menjadi biasa, sangat biasa, malah kadang bisa bermakna membosankan namun
harus dilakoni karena mau tidak mau, akhirnya ia menyisihkan diksi membosankan
dan diganti menjadi “harus dinimati” karena pada akhirna begini juga
pekerjaanku. Terlebih lagi, adanya harapan saya harus melanjutkan belajar untuk
mendapat sertifikasi pekerjaan. Tujuannya
menaikkan karir.
Untuk mendapatkan sertifikasi sebagai welding instektor
tingkat 2, sebut saja begitu, maka dibutuhkan pemahamana yang lebih mendetail tentang
pemahaman sebagai welding. Apa itu pemahaman yang mendetail tentang welding? Yakni,
seluruh proses perweldingan itu harus dipahami secara penuh. Mulai dari apa
yang diwelding, alat apa yang diwelding, proses apa yang dilakukan pada saat
proses perweldingan, prosedur apa yang digunakan untuk perweldingan, apakah
orang lasnya sudah memiliki sertifikasi untuk melakukannya, hafalkan perihal
cacat-cacat pengelasan, hingga kemudian bagaimana perakitannya—bukankah
paragraf ini sangat tidak mudah dimengerti? Baiklah kita persimpel itu:
Untuk menjadi inspektor, orang itu perlu mengerti keadaan
sebelum pelaksanaan weldingan, saat pelaksaan weldingan, hingga setelah selesai
weldingan. Sesimpel itu poinnya. Tapi tentu tidak bisa dikatakan sesimpel itu. Ini
masih perihal prolog. Tapi yang jelas, saya dituntut oleh dua hal: yakni,
belajar ilmu praktis dan ilmu teoritis. Ilmu pratis adalah ilmu yang kena
langsung pada pekerjaan yang terjadi, saya sebut sebagai ilmu praktis. Sementara
ilmu teoritis adalah ilmu tentang teori-teori dari apa yang sesungguhnya terjadi
pada hal-hal praktis itu. Jadi, pada
dasarnya, teori yang praktis itu tidak sepraktis kelihatannya, melainkan memang
tidak sepraktis seperti itunya.
Sekali pun praktis, banyak hal juga yang dilakukan. Seperti inspeksi
material yang digunakan, kedua, menguji orang-orang yang akan melakukan
weldingan. Ketiga, proses material yang dibentuk sesuai ukuran. Keempat,
bagiamana perakitas sementara sebelum diwelding. Dilanjutkan, harus mengetahui
siapa yang membuat weldingan. Dikonfirmasi oleh drawing yang akan dilakukan. Dilanjutkan
dengan inspeksi secara kasat mata material yang sudah diwelding, lalu material itu
dikirim ke painting. Setelah dipainting barang itu, dikirim kembali untuk
disambung pada material yang lain, sehingga, proses ini membutuhkan drawing
untuk mengerti mana saja yang akan disambung. Apakah sudah selesai? Belum,
kurang sesimpel itu. Setelah dipaintng, lalu dirakit lagi: dirakit lagi, lagi
dan lagi. Pertanyaannya, apakah sesusah itu? Karena belum terbiasa. Kalau terbiasa
akan mengerti bahwa begini adalah hal yang umum. Begini adalah hal yang biasa. Memang
seperti itu juga kalau pembuatan sampai finis total, tidak sesimpel itu bukan
rumah-rumah itu. Inilah namanya proyek.
Dan kelelahan pertama adalah karena saya merasa dituntut
untuk bisa mengusai dan saya belajar, tepatnya belum memahami, sehingga itu
bedampak pada kelelahan fisik, karena terpikrikan bukan? Terlebih lagi,
langkah-langkah yang dijalani merasa ngambang karena belum sepenuhnya memahami.
Dari ini saya mengingat pepatah lama “ojo rumongso iso.” Artinya, janganlah
beranggapan bisa. Tidak! Saya harus berani ambil resiko. Disinilah perlahan
saya diajari hal yang besar: ambil resiko. Saya memilih menyimpan ketidakbisaan
secara full. Menyimpan sambil terus menerus update ilmu pengetahuan.
Update ilmu pengetahuan dengan menulis dan menganilisi serta
evaluasi apa yang terjadi—sayangnya, kadang kalau kemalaman saya merasa
ngantuk, sehingga terkadang membutuhkan waktu untuk menulis, tapi mata dan
fisik terasa lelah. Namun setelah hampir dua minggu ini saya mulai menikmati
pekerajaan, step-by-step saya mempunyai tanggung jawab. Hampir berwaktu-waktu
ini, saya berada di welding scholl.. yakni, tempat untuk welder baru mengujikan
diri dan saya yang mengawasi.
Tidak sesimpel itu ternyata.
Hari pertama saya ke welding shcoll, saya belum mendapatkan
ilmu yang lebih pasti kecuali kenalan dengan lokasi saja. Lama kelamaan, saya
menyadari bahwa disini mengajak saya harus memvisual serta memonitoring mereka
yang sedang ujian welder.
Saya adalah pengawas welder. Maka benarlah, saya ini
inspector welder. Yakni mengawasi welder. Welder yang baru. waktu demi waktu
dilalui, sya belajar banyak hal. Termasuk bertemu class, melihat hasil tes,
yang reject dan accepted, dan mana yang dipertimbangkan, dan bagaiman memberi
visual pada hasil tes-tesan dan banyak lainnya. Dilain kesempatan saya
ceritakan. Yang pasti dibeberapa waktu saya lebih konsen pada welding schooll:
sisi kemanusiaanku benar-benar diuji, sikapku dipertimbangkan, gayaku diawasi
oleh mereka—saya terkesan sinis dan galak. Lidahku harus hati-hati ketika
mengucapkan. Saya butuh ambil ketegasan. Saya suka ini. Ini sisi watakku yang
lain, dimana saya harus menjauh dari kerumunan orang-orang. Dan hampir, di
welding shcholl saya minim bersantai-santai; setelah absen, saya foto sana foto
sini; menulis namanya satu persatu di hape, sejenak melihat gap mereka, lalu
menilai hasil yang kemarin diteskan itu. Saya sibuk diwelding scholle,
sampai-sampai tak ada waktu istirahat, tentu saja kondisional, saya pun bisa
meninggalkan. Apalagi, beberapa hari saya menyiadakan waktu untuk konsultasi
pengelasan akar; nah, benar-benarlah lidah saya menjadi trend senter buat
mereka. Apakah sesimpel itu? Tidak! Tidak
sesimpel itu, lama-lama saya menyadari sesuatu: bahwa tidak ada aturan yang
pasti perihal welder tes ini, saya hanya mengikuti pola mereka sebelumnya. Saya
perlu membuat pola-pola itu seperti:
Tidak boleh joki welder test. Tidak boleh dilepaskan. Yang tidak
berkepentingan dilarang masuk area welder test.
Komentar
Posting Komentar